NASIONAL, (JARAK.co) – Dalam kesederhanaan permainan anak-anak, sering tersembunyi kebijaksanaan mendalam tentang kehidupan. Salah satu contohnya adalah permainan klasik ular tangga, yang ternyata menyimpan filosofi kuat tentang bagaimana manusia seharusnya menyikapi perjalanan hidup dengan semangat, ketabahan, dan keyakinan.
Ular tangga bukan sekadar permainan keberuntungan. Ia adalah cerminan kehidupan nyata. Setiap pemain memulai dari kotak pertama, bermimpi mencapai kotak terakhir di puncak.
Sepanjang jalan, ada tangga yang mengangkat secara tak terduga, dan ular yang menjatuhkan tiba-tiba. Ini seperti momen-momen kehidupan, ada keberhasilan yang mendadak, tapi juga kegagalan yang menyakitkan.
Namun, filosofi utamanya sederhana namun dalam, jatuh bukan berarti selesai.
Baca Juga: Makna Filosofis Ketupat dalam Budaya Jawa, Lebih dari Sekadar Hidangan Lebaran
Dalam permainan ular tangga, tak ada pemain yang langsung menyerah saat terperosok ke bawah. Mereka tertawa, menarik napas, dan melempar dadu lagi. Ini pelajaran yang penting selama kita masih mau melangkah, harapan selalu ada.
Menurut pengamat budaya populer dan psikolog perkembangan, Dr. Rahmat Yusran, filosofi ini dapat dijadikan pegangan bagi siapa pun yang sedang merasa terpuruk.
“Kehidupan itu tidak linier. Kadang kita merasa sudah di puncak, tiba-tiba jatuh. Tapi itu bukan akhir, itu bagian dari permainan. Yang penting bukan posisi kita sekarang, tapi kemauan untuk terus melanjutkan permainan hidup,” ujarnya. (06/5).
Permainan ini juga mengajarkan bahwa keberuntungan dan kesialan bisa datang bergantian, dan tidak selamanya ditentukan oleh usaha semata.
Baca Juga: Filosofi Durian: Pelajaran Hidup dari Raja Buah
Namun bukan berarti usaha tak penting. Justru, ketekunan dalam melempar ‘dadu kehidupan’ itulah yang mengajarkan daya juang dan penerimaan.
Di tengah dunia yang penuh tekanan dan ekspektasi, permainan ular tangga bisa menjadi pengingat sederhana yakni kadang kita naik, kadang kita jatuh, tapi yang terpenting adalah terus bergerak.
“Karena hidup bukan soal siapa yang paling cepat sampai garis akhir, tapi siapa yang paling tekun bertahan di tengah naik-turunnya perjalanan.” tutupnya.***